Fee hingga Rp800 Juta, KPK Tindak Kasus Gratifikasi di Direktorat Perkeretaapian

Kamis 28 Nov 2024 - 22:28 WIB
Reporter : Kris
Editor : Kris

JAKARTA, HARIANOKUSELATAN.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan tiga tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Jawa Bagian Tengah (sekarang dikenal sebagai BTP Semarang) serta penerimaan gratifikasi. Ketiga tersangka tersebut adalah Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Hardho, Edi Purnomo, dan Budi Prasetiyo.

 

Hardho ditetapkan sebagai tersangka atas pengaturan pemenang tender untuk proyek peningkatan jalur kereta api R.33 menjadi R.54 di antara Lampegan-Cianjur pada tahun anggaran 2022-2023. Edi Purnomo terlibat dalam pekerjaan perbaikan perlintasan sebidang wilayah Jawa dan Sumatera pada tahun 2022. Sementara itu, Budi Prasetiyo terlibat dalam proyek pembangunan jalur ganda kereta api elevated Solo Balapan-Kadipiro pada tahun 2022-2024.

 

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (28/11/2024), menyatakan bahwa para tersangka akan ditahan selama 20 hari pertama, mulai 28 November hingga 17 Desember 2024, di Rumah Tahanan Negara Cabang Rutan Klas I Jakarta Timur. Penahanan dilakukan setelah penyidik menyelesaikan pemeriksaan terhadap mereka.

 

Sementara itu, seorang tersangka lainnya, Dheky Martin, yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), belum ditahan karena absen dalam pemeriksaan dengan alasan sakit.

 

Pengembangan Kasus Dugaan Suap

 

Kasus ini merupakan hasil pengembangan dari perkara sebelumnya yang melibatkan Direktur PT Istana Putra Agung, Dion Renato Sugiarto, yang memberikan suap kepada PPK di lingkungan BTP Semarang, Bernard Hasibuan, dan Kepala BTP Kelas 1 Semarang, Putu Sumarjaya.

 BACA JUGA:Kajari Palembang Limpahkan Rp22,5 Miliar Barang Bukti ke Rekening Penitipan

BACA JUGA:Kejati Sumsel Bahas Kerawanan Pasca Pilkada 2024

Hardho

Hardho, sebagai Ketua Pokja untuk proyek peningkatan jalur kereta api Lampegan-Cianjur, juga terlibat dalam beberapa proyek lain di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ia diketahui bekerja sama dengan Syntho Pirjani Hutabarat (yang telah divonis 4,5 tahun penjara) untuk mengatur pemenang tender. Proses pengaturan ini dilakukan melalui pertemuan di apartemen di Bendungan Hilir, Jakarta.

 

Hardho menerima setidaknya Rp321 juta sebagai fee dari PT Rinenggo Ria Raya milik Dion Renato Sugiarto. Selain itu, ia diduga menerima gratifikasi senilai Rp670 juta dari berbagai proyek lain. Atas perbuatannya, Hardho disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

 

Edi Purnomo

Sebagai Ketua Pokja untuk proyek perbaikan perlintasan sebidang di Jawa dan Sumatera, Edi Purnomo diduga diarahkan oleh Fadliansyah, mantan PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian (yang telah divonis 4 tahun penjara). Ia diminta memenangkan PT KA Properti Manajemen, anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

 

Edi Purnomo menerima fee sebesar Rp140 juta untuk proyek tersebut dan tambahan Rp285 juta dari proyek lainnya. Ia juga menghadapi dakwaan berdasarkan UU Tipikor.

 BACA JUGA:Menang Telak di Pilkada Sumsel, HDCU Hanya Kalah di 2 Kabupaten/Kota

BACA JUGA:BP2SS Tegaskan Tindak Manipulasi Suara di Pilkada, Ancaman Sanksi Pidana

Budi Prasetiyo

Budi Prasetiyo, Ketua Pokja untuk proyek pembangunan jalur ganda elevated Solo Balapan-Kadipiro, diduga menerima fee sebesar 0,5 persen dari nilai kontrak setelah pajak, yaitu sekitar Rp800 juta. Dari jumlah tersebut, Budi menerima Rp100 juta.

 

Komitmen KPK

 

KPK menegaskan akan terus mendalami kasus ini dan mengusut semua pihak yang terlibat. Langkah ini diharapkan menjadi peringatan bagi pelaku tindak pidana korupsi di sektor pemerintahan, khususnya dalam proyek strategis nasional.

Kategori :