PALEMBANG, HARIANOKUSELATAN.ID - Tiga dari empat terdakwa dalam kasus dugaan korupsi aset Yayasan Batanghari Sembilan di Yogyakarta, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp10,5 miliar, telah mengakui dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel dan memilih untuk tidak mengajukan eksepsi.
Ketiga terdakwa tersebut adalah Zurike Takarada, Ngesti Widodo, dan Eti Mulyati.
Sementara itu, terdakwa ke empat, Derita Kurniati, yang merupakan oknum notaris atau PPAT dari Yogyakarta, memilih untuk melawan dakwaan tersebut dengan mengajukan nota keberatan.
Tim penasihat hukumnya akan membacakan nota keberatan ini dalam sidang yang dijadwalkan pada Senin pekan depan di hadapan majelis hakim Tipikor PN Palembang yang diketuai oleh Efiyanto SH MH.
Para terdakwa diduga melakukan pengalihan aset milik Pemprov Sumsel yang berlokasi di Yogyakarta secara bersama-sama.
Mereka melakukan pengalihan hak atas aset dari Yayasan Batanghari Sembilan kepada Yayasan Batanghari Sembilan Sumsel, serta menjual aset yayasan berupa tanah dan bangunan asrama mahasiswa Sumsel "Pondok Mesudji".
BACA JUGA:Tensi Pilkada Lubuklinggau Meningkat, Saling Sodok Rebut Dukungan Parpol
BACA JUGA:Usai Nyaris Pingsan di Acara Hajatan, Mawardi Yahya Tampil Sehat dan Siap Tempur
Menurut dakwaan JPU, perbuatan para terdakwa telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan mengakibatkan kerugian negara.
Eti Mulyati dan Derita Kurniati sebagai notaris diduga membuat perikatan jual beli dengan Zurike Takarada sebagai kuasa Yayasan Batanghari Sembilan Sumsel, merugikan keuangan negara sebesar Rp10,6 miliar lebih atau tepatnya Rp10.628.905.000,00.
Para terdakwa disangkakan melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-2 KUHP.
Khusus untuk terdakwa Derita Kurniati dan Eti Mulyati sebagai notaris, mereka juga dikenakan dakwaan melanggar Pasal 56 Ke-2 KUHP.
Grace Selly, penasihat hukum terdakwa Derita Kurniati, menyatakan bahwa pengajuan eksepsi adalah hak kliennya sebagaimana diatur dalam KUHAP.
BACA JUGA:Belasan Pasangan Tak Resmi Terciduk Ngamar di Hotel
BACA JUGA:608 Personel Polda Sumsel Terima Kenaikan Pangkat 1 Juli 2024
Penyidikan kasus ini bermula dari sengketa tanah dan bangunan asrama yang terletak di Jalan Puntadewa nomor 9 Wirobrojan, Yogyakarta, sejak tahun 2015.
Asrama Pondok Mesudji, yang dibangun pada tahun 1952, awalnya didirikan sebagai rumah singgah sementara bagi mahasiswa asal Sumsel yang menuntut ilmu di Yogyakarta, berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Batanghari Sembilan.
Namun, pada sekitar tahun 2015, dugaan pemalsuan dokumen yayasan dan sertifikat oleh oknum mafia tanah berujung pada penjualan aset tanah dan bangunan asrama tersebut, yang memicu berbagai upaya hukum dan saling klaim terhadap status kepemilikan.