PALEMBANG – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Palembang terhadap terdakwa perkara korupsi pengadaan lahan Tol Betung–Tempino Jambi menuai sorotan.
Dua terdakwa, Yudi Herzandi dan Amin Mansur, divonis 1 tahun 4 bulan penjara serta denda Rp50 juta, Jumat (22/8/2025). Vonis ini dinilai tidak sejalan dengan fakta-fakta persidangan.
BACA JUGA:Mantan Kades Lirik Segera Disidang atas Dugaan Korupsi Dana Desa Rp1,1 Miliar
BACA JUGA:Polisi Gerebek Pesta Ekstasi di Kafe OKU Timur, 24 Orang Diamankan
Proses Persidangan Dinilai Terburu-buru
Ketua Tim Hukum Kms H Abdul Halim Ali, Dr. Jan S. Maringka, SH., MH., menilai jalannya sidang terkesan hanya formalitas.
Ia menjelaskan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya menuntut kedua terdakwa dengan pidana 2 tahun penjara berdasarkan surat tuntutan setebal 284 halaman pada 11 Agustus 2025.
Namun, hanya berselang beberapa hari, sidang dilanjutkan dengan agenda pledoi, replik, dan duplik yang kemudian ditutup dengan putusan pada 15 Agustus 2025.
“Proses secepat ini tidak memberi ruang pembelaan secara adil. Putusan seolah sudah disiapkan tanpa mempertimbangkan pledoi terdakwa,” ujar Jan.
Ia menambahkan, vonis 1,4 tahun yang hanya 2/3 dari tuntutan JPU justru menimbulkan kejanggalan. “Jika benar terbukti bersalah, seharusnya hakim tidak perlu mengurangi hukuman. Sebaliknya, bila tidak terbukti, mestinya diputus bebas. Vonis ini hanya jadi legalisasi kekeliruan,” tegasnya.
BACA JUGA:Diduga Korsleting Listrik, Tujuh Rumah Warga di Sungai Lilin Ludes Terbakar
BACA JUGA:Bagian Hukum Setda OKUS Mulai Bahas Rancangan Perda Tahun 2026
Tidak Ada Kerugian Negara
Menurut Jan, perkara ini semakin janggal karena kliennya, Kms H Abdul Halim Ali, justru tidak pernah menerima ganti rugi sepeserpun dari negara, padahal dalam dakwaan disebutkan mencapai Rp14 miliar lebih.
“Dalam posisi ini, jelas klien kami malah memberikan keuntungan bagi negara karena lahan tersebut sudah lama dikuasai PT SMB dengan legalitas jelas,” tuturnya.
Ia menyebut, tuduhan pemalsuan administrasi berupa Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (SPPF) tidak tepat, karena dokumen itu merupakan prosedur resmi yang diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2021.
Persoalan klaim tanah negara, menurutnya, hanya masalah teknis akibat perbedaan data peta BPN dengan kondisi faktual di lapangan.