Oleh: Gontar Pardamean Hasibuan
Hari ini, hampir semua aktivitas generasi muda bersinggungan dengan dunia digital. Internet, media sosial, marketplace, dan aplikasi pembayaran telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Banyak orang memuji ekonomi digital sebagai peluang emas bagi anak muda untuk memperbaiki taraf hidup dan mewujudkan mimpi. Namun, di balik peluang yang menggiurkan itu, terdapat pula sejumlah risiko yang seringkali luput dari perhatian.
BACA JUGA:Pemda OKUS Ikuti Penanggulangan Inplasi se-Sumsel
BACA JUGA:Kapolres OKUS Pindah Tugas ke Wilayah Kepri, Pemda OKU Selatan Gelar Pisah Sambut
Pertama, peluang ekonomi digital benar-benar terbuka bagi siapa saja yang mau belajar dan berinovasi. Modalnya tidak harus besar. Dengan ponsel pintar dan koneksi internet, seorang mahasiswa bisa memulai usaha kecil-kecilan secara daring. Banyak contoh yang membuktikan ini bukan sekadar teori.
Para reseller di marketplace, kreator konten YouTube, desainer grafis freelance, hingga pengembang aplikasi lokal telah berhasil meraih penghasilan yang signifikan. Platform seperti Tokopedia, Shopee, TikTok, dan Instagram menciptakan ekosistem bisnis yang relatif lebih demokratis, di mana setiap individu bisa berkompetisi tanpa harus memiliki toko fisik atau jaringan bisnis besar.
Kedua, ekonomi digital melahirkan jenis-jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Influencer, spesialis SEO, admin marketplace, social media strategist, content creator—semua profesi ini berkembang pesat dalam dekade terakhir. Generasi muda yang cepat beradaptasi dengan teknologi informasi memiliki peluang lebih besar untuk menjadi pionir di bidang-bidang baru tersebut. Ini berbeda dengan ekonomi tradisional yang kerap kaku dan hierarkis, sehingga kesempatan untuk naik kelas lebih terbatas.
BACA JUGA:Dinas PPPAPPKB Libatkan Semua Unsur, Cegah Kekerasan Terhadap Anak
BACA JUGA:Disbudpar OKU Selatan Bahas Tata Cara Pelamaran Adat Suku Ranau
Namun, kita tidak boleh silau pada sisi gemilang ekonomi digital. Risiko dan tantangan yang menyertainya juga tidak sedikit. Salah satu masalah utama adalah ketergantungan terhadap platform asing yang mendominasi pasar digital di Indonesia.
Banyak bisnis muda bergantung pada algoritma media sosial atau marketplace luar negeri yang kebijakannya bisa berubah sewaktu-waktu. Ketika platform tersebut memutuskan untuk menaikkan biaya iklan, membatasi jangkauan organik, atau mengubah aturan komisi, pelaku usaha kecil bisa langsung terpukul. Tidak sedikit yang akhirnya gulung tikar hanya karena tidak siap menghadapi perubahan mendadak.
Selain itu, ekonomi digital menimbulkan budaya kerja serba cepat dan ekspektasi instan terhadap hasil. Tidak sedikit generasi muda yang merasa gagal hanya karena bisnis onlinenya belum viral dalam hitungan bulan, atau kanal YouTube-nya belum segera menghasilkan uang.
Padahal di balik kesuksesan digital yang sering tampil di permukaan, selalu ada kerja keras, disiplin, dan ketekunan yang jarang diperlihatkan. Fenomena “fear of missing out” (FOMO) di media sosial menambah tekanan mental, membuat banyak anak muda merasa tertinggal meski sebenarnya proses mereka baru saja dimulai.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah keamanan data dan literasi digital. Banyak pelaku usaha muda yang belum memahami bagaimana melindungi data pelanggan, mengelola transaksi secara profesional, atau membedakan keuangan pribadi dengan keuangan bisnis. Akibatnya, risiko kebocoran data, penipuan siber, dan kerugian finansial kerap terjadi. Dalam banyak kasus, kerugian ini bisa dihindari jika edukasi dasar tentang keamanan digital diberikan lebih luas sejak dini.
BACA JUGA:Infrastruktur, Kesehatan, dan Pendidikan Jadi Prioritas Musrenbang OKU Selatan 2025