Ganbai: Bersulang ala Tiongkok yang Sarat Makna

Dahaln Iskan saat makam malam bersama teman di Tingkok-Foto: Disway.id.-
Oleh: Dahlan Iskan
Malam itu, teman makan saya tampak begitu menikmati setiap teguk Maotai—minuman beralkohol paling bergengsi di Tiongkok. Padahal, ia yang menyetir mobil saat berangkat ke restoran. Saya sempat cemas: bagaimana pulangnya nanti? Aturan di Tiongkok tegas, pengemudi yang mengonsumsi alkohol sama sekali tidak boleh mengemudi.
Namun ternyata, kekhawatiran saya tidak beralasan. Di Tiongkok, teknologi sudah jadi penyelamat para peminum. Mereka punya solusi praktis: sopir berbasis aplikasi.
Cukup buka aplikasi, dalam waktu kurang dari lima menit, sopir datang. Menariknya, sopir itu tidak datang naik motor atau mobil, tapi dengan sepeda lipat bertenaga listrik. Setibanya di parkiran, ia tahu persis lokasi kendaraan, merek, bahkan warna mobil yang akan dikemudikan. Sepeda lipatnya pun langsung dimasukkan ke bagasi. Kami pun pulang dengan selamat.
Aplikasi seperti ini tidak hanya memberi kemudahan, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Para sopir tahu tempat-tempat yang biasa menjadi pusat pertemuan, seperti restoran atau tempat makan malam para pebisnis, yang sering kali membutuhkan layanan mereka. Ini adalah bukti bahwa teknologi bisa berpihak pada budaya dan keselamatan sekaligus.
Budaya minum di Tiongkok memang sudah mengakar. Tidak mudah dilepaskan. Dalam jamuan makan, minuman keras seperti Maotai dibawa sendiri oleh pihak yang mengundang. Bukan dibeli di restoran.
Seperti yang terjadi pada Minggu malam lalu. Teman saya membawa dua botol Maotai langsung dari rumah. Kami duduk di meja bundar besar, lengkap dengan tata letak khas jamuan Tiongkok: piring besar dan kecil, mangkuk, sendok, dua pasang sumpit (hitam dan gading), gelas berbagai ukuran, serta teko kaca kecil berisi alkohol.
BACA JUGA:Hari Raya Qurban, Kemenag OKU Selatan Bakal Sembelih 12 Ekor Sapi
BACA JUGA:Nyaris Tabrak Motor, Truk Box Sembako Terguling di Jalan Lingkar Jagaraga
Bagian tengah meja bisa diputar, tempat 18 jenis hidangan disajikan. Tidak ada satu pun daging babi di atas meja—sebuah bentuk penghormatan pada saya, meskipun saya sudah bilang tidak masalah selama diberi tahu. Mereka tetap memilih untuk tidak menyajikannya. Masih ada ayam, sapi, bebek, domba, angsa, hingga kelinci.
Tapi untuk minuman keras, tidak ada kompromi. Gelas kecil sebesar jempol bayi digunakan untuk menuang Maotai, yang sebelumnya dituangkan dari botol ke dalam teko kaca. Setiap orang akan mendapat giliran mengajak bersulang.
Tradisi bersulang ini pun memiliki etika tersendiri. Kursi “ketua” adalah posisi paling terhormat, meskipun bentuknya sama dengan kursi lain. Di sinilah biasanya orang pertama mengajak bersulang dan menyampaikan kata-kata pengantar penuh makna: harapan akan persahabatan yang abadi, kesehatan, rejeki, dan kebahagiaan.
Sabtu malam saya sempat diminta duduk di kursi ketua. Saya menolak. Untung mantan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia datang, saya selamat. Tapi esoknya, Minggu malam, saya kembali diminta duduk di posisi tersebut. Saya coba menolak lagi—saya bukan siapa-siapa, alasan saya. Tapi tetap dipaksa.
BACA JUGA:Shiba Inu Bakar 49 Juta Token, Burn Rate Meledak 17.930% dalam 24 Jam
BACA JUGA:Bitcoin Melejit, MicroStrategy dan Metaplanet Jadi Dalang di Balik Lonjakan
Saya tunjuk ketua tim dokter yang pernah merawat saya saat operasi transplantasi hati 18 tahun lalu. Tapi ia pun menolak. Setelah voting informal, saya kalah.
Akhirnya, saya berdiri, mengangkat gelas (isi jus jeruk, karena saya tidak minum alkohol) dan menyampaikan kata-kata pengantar. “Untuk kesehatan, untuk persahabatan, untuk kemakmuran,” kira-kira seperti itu. Lalu saya menyerukan, “Ganbei!”
“Ganbei!” sahut yang lain, sambil menabrakkan gelas kecil: ting! ting! ting! Dan semua pun menenggak isi gelas hingga habis. Itu makna “ganbei”: minum sampai kosong.
Saya perhatikan gelas tetangga saya—si dokter ketua tim tadi—tetap penuh. Ternyata ia hanya berpura-pura meneguk. Ini juga bagian dari etika: menjaga kebersamaan, tanpa harus melanggar batas pribadi.
BACA JUGA:Yadea Luncurkan Warna Baru, Makin Ngejreng untuk 4 Model Unggulan
BACA JUGA:Ojol Ancam Matikan Aplikasi Serempak, Gojek Pastikan Layanan Tetap Berjalan Normal
Beberapa tamu lain juga minum jus, karena harus menyetir mobil sendiri setelah acara. Itu pun dimaklumi. Yang lain, tetap melanjutkan putaran ganbei. Bahkan setelah dua botol Maotai habis, senilai lebih dari Rp 30 juta, suasana tetap meriah. Satu orang mengajak bersulang tamu lain, lalu dibalas dengan ganbei balik. Begitu terus.
Saya juga belajar tata krama lain: saat bersulang dan menabrakkan gelas, bibir gelas kita tidak boleh lebih tinggi dari gelas orang yang kita hormati. Maka sering kali kami sama-sama menurunkan gelas, agar posisi gelas masing-masing lebih rendah dari lawan ganbei. Itu bentuk penghormatan dalam kesederhanaan.
Senin pagi saya akhirnya terbebas dari semua ganbei itu. Saya sudah berada di pesawat menuju New York. Tidak ada ganbei di sana. Tapi pengalaman ini akan selalu saya ingat: tentang bagaimana teknologi, budaya, dan kesantunan bisa saling berdampingan di Tiongkok.