JAKARTA, HARIANOKUSELATAN.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan penggeledahan di beberapa kantor dinas di Pekanbaru, Riau, terkait kasus korupsi yang menjerat Penjabat (Pj) Walikota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa (RM). Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, memastikan bahwa penggeledahan ini tidak disertai tindakan penangkapan.
“Ya, betul ada kegiatan penggeledahan di Pekanbaru. Tidak ada penangkapan, hanya kegiatan penggeledahan,” ujar Tessa pada Selasa, 10 Desember 2024. Ia juga menegaskan, jika ada individu yang dibawa, itu hanya untuk mendukung proses penggeledahan, bukan penangkapan.
Tessa belum merinci lokasi pasti dan durasi penggeledahan, namun menyebutkan beberapa kantor dinas menjadi sasaran. “Nanti akan disampaikan kalau sudah selesai. Ada beberapa kantor dinas yang digeledah di sana,” tambahnya.
BACA JUGA:Camat Banding Agung Lakukan Penyuluhan Kekerasan Terhadap Anak
BACA JUGA:Kemenag OKU Selatan Tinjau Pelaksanaan Rehab Berat MI Nurul Fatah
Tersangka dan Modus Operandi
Sebelumnya, KPK menetapkan Risnandar Mahiwa (RM) bersama dua pejabat lain, yaitu Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru, Indra Pomi Nasution (IPN), dan Plt. Kepala Bagian Umum Setda Kota Pekanbaru, Novin Karmila (NK), sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengelolaan anggaran di lingkungan Pemkot Pekanbaru.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menjelaskan modus operandi kasus ini melibatkan pemotongan anggaran uang makan dan minum di Bagian Umum Setda Kota Pekanbaru. Pada November 2024, terjadi penambahan anggaran melalui APBD 2024, di mana Risnandar diduga menerima uang sebesar Rp2,5 miliar.
Ketiga tersangka ditahan selama 20 hari pertama sejak 3 Desember 2024 hingga 22 Desember 2024 di Rutan Cabang KPK.
BACA JUGA:Lewat E-Katalog 6.0, Pemerintah Optimalkan Anggaran dan Tekan Korupsi
BACA JUGA:Dinas PPKBPPPA Berikan Penyuluhan Pencegahan Pernikahan Usia Dini ke Siswa
Pasal yang Dilanggar
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 f dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK terus mengembangkan kasus ini untuk mengungkap lebih jauh aliran dana korupsi yang merugikan keuangan negara.