Peraturan dan Pedoman Dewan Pers,
Keputusan Bersama Dewan Pers dengan lembaga lain,
Dukungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
Kolaborasi dengan Komnas Perempuan, khususnya dalam kasus kekerasan berbasis gender.
“Ekosistem regulasi yang ada sudah cukup memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan martabat wartawan dalam menjalankan fungsi jurnalistik secara profesional dan independen,” kata Fifi.
Ia menegaskan, perlindungan hukum bagi wartawan tidak berarti kekebalan hukum.
“Perlindungan bukan berarti imunitas. Jika wartawan melanggar hukum pidana, tentu tetap dapat diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” jelasnya.
BACA JUGA:Dugaan Korupsi Rp2,5 Miliar, Kabid Waskim Dinas Perkimtan Palembang Diperiksa Kejari
BACA JUGA:Bupati OKUS Ikuti Rakoor Pemda Seluruh Kabupaten di Sumsel
Pemerintah Rujuk Putusan MK Sebelumnya
Menanggapi dalil Pemohon soal kriminalisasi wartawan melalui “pasal karet”, Fifi mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menegaskan pentingnya batasan hukum dalam konteks pemberitaan.
Ia mengutip Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang mempertahankan frasa “tanpa hak” dalam KUHP, karena dianggap penting untuk melindungi kepentingan hukum yang sah, termasuk dalam aktivitas jurnalistik dan akademik.
Dengan demikian, pemerintah menilai sistem hukum yang berlaku sudah menyediakan mekanisme perlindungan sekaligus pengawasan bagi profesi wartawan tanpa mengekang kebebasan pers.
“Pasal 8 UU Pers bukanlah norma yang kabur, melainkan bagian integral dari sistem perlindungan hukum bagi wartawan yang dijalankan secara kolaboratif antara pemerintah, Dewan Pers, dan masyarakat,” tegas Fifi Aleyda Yahya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa wartawan berhak atas perlindungan diri, kehormatan, dan martabat dalam menjalankan profesinya.
“Ketentuan Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir. Justru melalui norma terbuka dan sinergi antar-lembaga, perlindungan hukum terhadap wartawan semakin diperkuat,” pungkasnya.