BPOM Terbitkan Aturan Label BPA pada AMDK

BPOM terbitkan aturan pencantuman bahaya label BPA pada AMDK guna melindungi kesehatan masyarakat. -Foto: Freepik.-

JAKARTA, HARIAN OKU SELATAN - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan aturan baru terkait label pangan olahan berdasarkan risiko bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK).

Dalam peraturan terbaru yang resmi disahkan per 1 April 2-24, BPOM mewajibkan pencantuman terhadap potensi bahaya BPA pada AMDK yang menggunakan kemasan polikarbonat.

Peraturan baru BPOM terkait label BPA mencakup penambahan dua pasal yang mengatur kewajiban pelabelan BPA dan cara penyimpanan air minum dalam kemasan.

Pada Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

BACA JUGA:Federico Chiesa Tarik Perhatian Arsenal, Chelsea dan Newcastle United

Ada dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko BPA pada kemasan AMDK, yakni 48a dan 61 dengan tenggat waktu transisi empat tahun bagi produsen untuk melakukan penyesuaian.

Pasal 48A berbunyi, "'Keterangan tentang cara penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) pada Label air minum dalam kemasan wajib mencantumkan tulisan 'simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam'.

Sedangkan, Pasal 61A berbunyi, "Air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan 'dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan' pada label'.

Aturan ini diterbitkan sebagai upaya BPOM untuk melindungi Kesehatan masyarakat dari potensi bahaya BPA dalam jangka Panjang.

Tak hanya itu, kebijakan ini juga sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya BPA serta membantu masyarakat untuk bijak dan cermat sebelum memutuskan mengonsumsi galon air minum.

BACA JUGA:Pilkada Lubuklinggau, Para Calon Saling Rebutan Dukungan Parpol

Sebelumnya, BPOM menyebut bahwa galon polikarbonat dengan persentase 96 persen paling banyak beredar di masyarakat dari total air minum bermerek yang beredar.

Berdasarkan data pemeriksaan BPOM pada fasilitas produksi selama 2021-2022, kadar BPA yang bermigrasi pada air minum lebih dari 0,6 ppm meningkat berturut-turut hingga 4,58 persen.

Begitu pun dengan hasil pengujian migrasi BPA di ambang 0,05-0,6 ppm yang meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.

Dekan Fakultas Universitas Airlangga Profesor Junaidi Khotib menyampaikan BPA sudah lama dikenal di dunia Kesehatan sebagai senyawa Kimia sintesis yang bisa menjadi pengganggu endokrin.

Sistem endokrin merupakan jaringan kelenjar yang memproduksi dan melepaskan hormon yang mengontrol fungsi penting dalam tubuh, termasuk proses fisiologis, seperti pertumbuhan, metabolisme, dan reproduksi.

"Senyawa ini dapat menyerupai hormon dalam tubuh dan dapat membentuk ikatan pada reseptor hormon, yang dapat mengganggu fungsi fisiologis dan menyebabkan perubahan patofisiologis," kata Prof Junaidi dalam keterangannya.

Ketika masuk ke dalam tubuh melalui medium makanan dan minuman yang ditempatkan dalam wadah plastic, maka BPA akan meniru hormon alami.

Kemudian, merebut tempat hormon tersebut pada reseptor di berbagai organ yang menyebabkan terjadi gangguan hormonal di dalam tubuh.

Gangguan hormonal ini yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan dan pubertas, serta fertilitas.

BACA JUGA:Amien Rais Ingin Presiden Kembali Dipilih MPR

Sejumlah referensi ilmiah juga menyebutkan kondisi ini dapat memicu munculnya sel abnormal pada tubuh dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan hipertensi.

Tak hanya itu, penelitian menunjukkan bahwa paparan BPA dalam jangka Panjang dapat mempengaruhi kesehatan mental.

"Pada penelitian laboratorium, paparan BPA pada hewan coba menunjukkan gangguan perilaku seperti kemampuan motorik, aktivitas gerak, keseimbangan, dan daya ingat. Sementara studi epidemiologi menemukan bahwa kadar BPA dalam darah atau urin anak-anak berkorelasi dengan gangguan perilaku, kecemasan, dan depresi," tutur Junaidi. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan