Kematian hantui pasien cuci darah di Gaza

--

Gaza-- Penyangga kaki milik Abdullah Al-Mashharawi tersandar pada dinding tenda tipis di antara reruntuhan area permukiman Tal al-Hawa yang hancur di Gaza City barat.

Selama sembilan tahun, dialisis (cuci darah) menopang hidup ayah tujuh anak berusia 39 tahun ini. Kini, setelah lima kali mengungsi di jalur yang dilanda perang, dia menghadapi sebuah kesimpulan, yaitu jika tidak ada bahan bakar, maka tidak ada pengobatan.

"Jumlah pasien meningkat, dan kamar-kamar tidak lagi memadai untuk melayani kami. Tanpa bahan bakar dan air, situasi kembali ke titik nol," katanya kepada Xinhua, dengan keringat bercucuran di dahinya di tengah cuaca panas.

Situasi yang dihadapinya juga dirasakan oleh ratusan pasien gagal ginjal lainnya di seluruh Gaza, yaitu mesin dialisis tidak berfungsi di tengah kekurangan bahan bakar yang kronis

 

Kehancuran itu bersifat sistematis, di Rumah Sakit Al-Shifa yang dahulu menjadi tumpuan medis Gaza, semua layanan cuci darah dihentikan sejak Selasa (1/7). Perawatan intensif kini hanya beroperasi beberapa jam setiap hari.

"Ini bukan kerusakan yang tidak disengaja. Ini upaya yang disengaja untuk menghancurkan berbagai layanan penting," kata Direktur Rumah Sakit Mohammed Abu Selmeia.

Otoritas kesehatan di Gaza dalam sebuah pernyataan pers menyebutkan bahwa lebih dari 400 pasien gagal ginjal telah meninggal sejak Oktober 2023. Otoritas juga memperingatkan terkait "kematian yang tak terhindarkan" bagi pasien di seluruh daerah kantong tersebut.

Bagi Umm Islam Al-Dadah (55), yang mengidap gagal ginjal selama 15 tahun, pengurangan sesi cuci darah memicu komplikasi hebat.

"Biasanya, saya menjalani cuci darah tiga kali sepekan. Kini, tidak ada bahan bakar, tidak ada perawatan," kata wanita itu dalam kondisi terbaring di kasur tipis di tempat penampungan sementara di dekat rumah sakit kepada Xinhua dengan suara lemah.

"Pekan lalu, saya hanya menjalani satu sesi. Saya kemudian mengalami serangan kolik yang parah. Kami makan lentil karena tidak ada pilihan lain. Anemia saya semakin parah, dan rasa sakitnya tak kunjung hilang," ujarnya.

 

Para pengamat memperkirakan bahwa Gaza membutuhkan 500 truk bantuan setiap hari, tetapi Israel membatasi jumlahnya menjadi puluhan.

"Tentara Israel memberlakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap masuknya bahan bakar dan pasokan medis. Setiap hari di rumah sakit kami terasa seperti pertempuran untuk menyelamatkan nyawa dengan tangan kosong," kata Direktur Otoritas Kesehatan di Gaza Munir al-Bursh, kepada Xinhua.

"Pasien tidak bisa menunggu. Setiap penundaan adalah hukuman mati secara perlahan," katanya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan