Dia lanjut mengatakan bahwa pada era Orde Baru, dana jaminan reboisasi (DJR) menjadi instrumen utama untuk menanam kembali pohon. Dana tersebut dikelola di Kementerian Kehutanan dan daerah.
Akan tetapi, sejak reformasi dan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja pada 2014, dana reboisasi dialihkan ke Kementerian Keuangan. Dana tersebut, menurut Robert, tidak lagi digunakan untuk penanaman kembali hutan.
“Coba cari perusahaan HPH yang betul-betul lakukan reboisasi, tidak ada,” katanya.
Hal serupa juga dipandang terjadi pada dana provisi sumber daya hutan (PSDH). Robert menyebut kondisi ini sebagai “masalah besar” karena tata kelolanya belum maksimal sehingga harus diperbaiki dalam revisi UU Kehutanan.
Di samping itu, dia juga menyinggung dampak tumpang tindih kebijakan. Menurutnya, perubahan status kawasan hutan kini tidak lagi melibatkan tim terpadu (Timdu) yang beranggotakan 19 instansi bersama Komisi IV DPR.
Ia mengatakan tidak sedikit daerah menurunkan status hutan langsung menjadi area penggunaan lain (APL) sehingga kepala daerah memiliki kewenangan besar mengeluarkan izin penguasaan hak atas tanah (PHAT) dan IPK tanpa mekanisme amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang memadai.
Kondisi demikian, kata dia, berkontribusi besar pada kerusakan hutan karena mekanisme kontrol dan kajian lingkungan menjadi lemah.
Robert turut menyoroti kebijakan larangan ekspor kayu log yang sudah berlaku sejak 1990-an. Hilirisasi yang seharusnya menjadi tujuan utama justru tidak berjalan.