Ekonom Peringatkan Konflik Iran-Israel Bisa Tekan Rupiah dan Perlambat Ekonomi RI

--

JAKARTA — Ketegangan militer antara Iran dan Israel yang semakin memanas dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mewanti-wanti bahwa konflik tersebut dapat memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurutnya, salah satu dampak besar yang harus diantisipasi adalah potensi gangguan terhadap Selat Hormuz, jalur vital distribusi energi dunia. Jika jalur ini terganggu, maka pasokan energi global akan terhambat, mendorong harga energi naik, dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi secara global — termasuk Indonesia.

“Tergantung eskalasinya. Jika Selat Hormuz terganggu, suplai energi dunia terganggu, harga naik, ekonomi dunia dan Indonesia melambat,” ujar Wijayanto kepada Bisnis, Minggu (22/6/2025).

Selain itu, eskalasi konflik juga dinilai berisiko mengganggu arus modal (capital flow) dan memperlemah nilai tukar rupiah. Ketidakpastian global dapat mendorong pelaku pasar menarik dananya dari negara berkembang seperti Indonesia.

“Risiko dunia meningkat, capital flow terganggu, bunga meningkat, dan rupiah berpotensi tertekan,” tambahnya.

Berdasarkan data, rupiah tercatat melemah dalam beberapa hari terakhir. Pada Kamis (19/6/2025), rupiah ditutup di level Rp16.390 per dolar AS, lalu dibuka di level Rp16.355 keesokan harinya, namun kembali melemah ke Rp16.399 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (20/6/2025) menurut JISDOR.

Meski demikian, Wijayanto menilai dampak langsung dari konflik terhadap neraca perdagangan Indonesia tidak terlalu signifikan. Dampak yang lebih terasa adalah dari sisi keuangan dan energi, terutama melalui kenaikan harga minyak dan potensi inflasi.

“Yang signifikan adalah dampak tidak langsung yang mempengaruhi Indonesia dari aspek keuangan dan energi,” jelasnya.

Namun, ia juga menilai kecil kemungkinan Iran akan memblokade Selat Hormuz secara penuh karena langkah tersebut juga akan merugikan mitra dagang utama seperti China, yang sangat bergantung pada impor energi dari kawasan Timur Tengah.

Eskalasi Semakin Panas: AS Terlibat Langsung

Konflik semakin memanas setelah Amerika Serikat resmi bergabung dalam serangan terhadap Iran. Menurut laporan Reuters, Presiden AS Donald Trump telah memerintahkan serangan udara ke tiga situs nuklir Iran: Fordow, Natanz, dan Esfahan, pada Sabtu (21/6/2025) malam waktu setempat.

Trump menyebut serangan tersebut sebagai "sukses besar", dan menyatakan bahwa seluruh awak pesawat penyerang telah berhasil kembali dengan selamat. Ia juga memperingatkan bahwa jika Iran tidak bersedia berdamai, serangan selanjutnya akan lebih besar dan cepat.

“Tetapi sekarang saatnya berdamai. Jika mereka tidak melakukannya, serangan di masa depan akan jauh lebih besar dan jauh lebih mudah,” tegas Trump dalam pidato yang disiarkan melalui akun X resmi Gedung Putih.

 

Trump menegaskan bahwa tujuan dari operasi militer tersebut adalah untuk menghancurkan kapasitas nuklir Iran dan mencegah potensi ancaman keamanan global. Ia memberikan ultimatum keras kepada Iran: berdamai atau menghadapi serangan lanjutan dalam hitungan menit.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan