Penyidik Pidsus Kejati Sumsel 'Obok-obok' Kantor BPN Sumsel
Tim penyidik pidsus geledah kantor BPN Sumsel guna mendapatkan barang bukti kasus dugaan korupsi, Jumat 15 Maret 2024. -Foto: Sumeks.co.-
PALEMBANG, HARIAN OKU SELATAN - Tim penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel melakukan penggeledahan di Gedung Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumsel pada Jumat, 15 Maret 2024.
Penggeledahan dilakukan untuk mendapatkan bukti dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi.
Dari pantauan SUMEKS.CO, tim penyidik Pidsus Kejati Sumsel yang terdiri dari 5 jaksa penyidik memulai penggeledahan sejak pukul 09.30 WIB.
Mereka menggunakan rompi khusus selama penggeledahan yang dilakukan di berbagai ruangan kantor BPN Provinsi Sumsel.
Penggeledahan fokus pada ruangan-ruangan tertentu, termasuk ruang Bidang Survey dan Pemetaan, serta ruang penetapan dan pendaftaran.
Meskipun demikian, proses penggeledahan berlangsung kondusif dan petugas BPN Sumsel kooperatif dalam menyediakan dokumen dan berkas yang diminta oleh tim penyidik.
BACA JUGA:Manfaatkan Ramadhan, Guru Ajak Siswa Ngaji
BACA JUGA:Cegah Bencana Longsor, Bupati OKU Selatan Ajak Warga Jaga Alam
Selain di Kantor BPN Provinsi Sumsel, tim penyidik Pidsus Kejati Sumsel juga melakukan penggeledahan di kantor Dinas Perkebunan dan kantor Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel.
Penggeledahan ini diduga terkait dengan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mafia lahan perkebunan.
Hingga saat ini, Kejati Sumsel belum memberikan konfirmasi lebih lanjut mengenai penggeledahan tersebut.
Namun, seorang jaksa penyidik menyatakan bahwa informasi lebih lanjut akan disampaikan melalui rilis resmi.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Pagar Alam berhasil membongkar kasus mafia tanah penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di hutan lindung.
BACA JUGA:Personel Polsek Muaradua Tuntun Siswa SD Nyeberang Jalan
BACA JUGA:Satlantas Larang Remaja Lakukan Balap Liar
Tiga tersangka, yang merupakan oknum mantan ASN di BPN Kota Pagar Alam, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Kasus ini bermula dari temuan bahwa terdapat penerbitan SHM di hutan lindung melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) antara tahun 2017 hingga 2020.
Tindakan tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp800 juta. Kasus ini menjadi fokus penyidikan Kejari Pagar Alam sejak tahun 2020. (seg)